Jumat, 25 Juni 2010

Rapid dan Slow Mixing pada Instalasi Pengolahan Air Minum (Part 01)

Rapid dan Slow Mixing pada Instalasi Pengolahan Air Minum (Part 01)

Rapid dan Slow Mixing pada Instalasi Pengolahan Air Minum (Part 01)

Kalau memanfaatkan air baku dari sungai, danau atau waduk, IPAM di PDAM (dan di mana saja), hampir dapat dipastikan (99%) dilengkapi dengan unit mixing. Unit yang dapat dibedakan menjadi dua jenis ini, yaitu rapid mixing dan slow mixing, menjadi harga mati bagi proses klarifikasi, filtrasi, dan desinfeksi (khususnya klorinasi).

Berikut penjelasan global mengenai Rapid Mixing pada instalasi pengolahan air minum. Selamat menikmati.



Air sungai, danau, dan waduk, juga badan air permukaan lainnya, diperkaya oleh material tanah hasil erosi, khususnya lempung (koloid), dissolusi mineral, dan busukan zat organik. Karena material ini tidak layak masuk ke dalam tubuh manusia (ada yang berbahaya) maka harus dihilangkan dulu dengan cara pengolahan yang melibatkan unit mixing. Apalagi kalau badan air tersebut terkontaminasi oleh limbah industri dan domestik, penerapan proses kimia tak bisa ditawar-tawar lagi.

Di antara tiga jenis material dalam air seperti disebut di atas, yang menjadi fokus utama di PDAM tak lain daripada koloid (colloidal). Koloid adalah partikel berukuran mikron (1 – 200 milimikron) yang mayoritas bermuatan negatif sehingga stabil dan tidak bisa mengendap. Berdasarkan “kesukaannya” pada air, koloid dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hidrofilik dan hidrofobik. Koloid hidrofilik (suka air) adalah koloid yang berdaya afinitas (ikat) tinggi terhadap air sedangkan koloid hidrofobik (takut air) rendah daya afinitasnya terhadap air. Sifat hidrofilik menyebabkan ikatan koloid dengan air menjadi kuat sehingga koloid lebih stabil dan sulit dipisahkan dari air. Kestabilan koloid hidrofilik ini disebabkan oleh fenomena hidrasi, yaitu molekul air tertarik oleh permukaan koloid sehingga menghalangi terjadinya kontak antarkoloid.

Rapid Mixing
Pengadukan cepat (rapid, flash, quick, fast mixing) adalah unit yang digunakan untuk meratakan koagulan secara singkat ke seluruh bagian air agar dihasilkan destabilisasi koloid sehingga terjadi proses koagulasi. Fenomena pengadukan ini dapat terjadi di banyak tempat dan alat, misalnya di terjunan air, pusaran air, loncatan hidrolis, aliran dalam pipa, belokan pipa, di dalam pompa, venturi flumes, dan alat-alat pengaduk seperti paddle, turbine, popeller. Secara mikroelektrokimia, mixing menyebabkan reaksi antara muatan negatif koloid dan muatan positif koagulan yang menghasilkan destabilisasi. Kejadian inilah yang akhirnya berujung pada kait-mengait antara koloid dan koagulan kemudian tumbuh menjadi mikroflok lalu makroflok yang terus membesar, berat, dan “padat”.

Literatur yang lain menyatakan bahwa koagulasi adalah pemberian kation (bermuatan positif) ke dalam air baku yang kaya koloid (permukaannya bermuatan negatif) sehingga terjadi tarik-menarik yang akhirnya dapat menghilangkan kestabilan koloid. Di sini terjadi perubahan koloid yang stabil menjadi koloid yang tidak stabil (labil) lalu disertai proses pelekatan (penggumpalan, aglomerasi). Taraf pelekatan ini pun bergantung pada intensitas pengadukan yang diukur dengan parameter gradien kecepatan (velocity gradient) dan lamanya pengadukan. Korelasi dua hal tersebut telah dirumuskan dalam formula kinetika oleh Camp & Stein dan masih diterapkan sampai sekarang untuk mendesain unit mixing.

Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa gradien kecepatan bergantung pada daya atau energi dissipasi atau energi yang dimasukkan (power input) ke dalam air, kekentalan (viskositas) air, dan volumenya. Adapun nilai gradien kecepatan koagulasi antara 250 – 1.500 per detik sedangkan pada flokulasi 10 – 100 per detik. Nilai ini memang berbeda-beda dari satu buku ke buku lainnya, tetapi rentang nilainya ada yang sama (beririsan). Satu lagi parameternya yang penting, yaitu nilai G.td dengan kisaran 30.000 – 60.000 (tanpa satuan) dan waktu detensinya (detention time, td) = 60 – 120 detik. Karena air yang diolah sudah ditetapkan debitnya, maka waktu detensinya dapat dihitung, yaitu V/Q. Apabila rasio daya dissipasi terhadap volume airnya besar, maka gradien kecepatannya pun membesar sehingga sifat aliran fluidanya menjadi makin turbulen. Makin besar nilai G, makin besar pula adukan yang terjadi.

Bagaimana praktiknya di lapangan? Patut diakui bahwa kalkulasi di atas kertas, walaupun sangat teliti secara teoretis, kerapkali tidak sesuai dengan kejadian di lapangan, bahkan sering berbeda dengan fenomena di laboratorium (skala lab). Ini disebabkan oleh banyak hal yang terus berubah kondisinya sehingga berpengaruh pada koagulasi. Hal-hal ini, selain faktor intensitas pengadukan dan tingkat turbulensinya, ialah:
a. Derajat keasaman air (pH) dan alkalinitas. Koagulasi akan berlangsung dengan baik apabila berada pada rentang pH optimum untuk koagulan masing-masing.
b. Tingkat kekeruhan air baku. Makin keruh air bakunya, makin banyak kebutuhan koagulannya.
c. Dosis dan karakteristik koagulan. Dosis berkaitan dengan taraf kekeruhan air baku dan karakteristik koagulan yang digunakan.
d. Mode pengadukan. Telah disebut di atas, intensitas pengadukan yang tepat dan cepat akan meratakan sebaran koagulan ke seluruh bagian air.
e. Temperatur air. Koagulasi berlangsung relatif lambat pada temperatur rendah.

Namun demikian, pendekatan teoretis yang meskipun berbeda hasilnya dengan praktik di lapangan masih dapat dijadikan acuan dalam mendesain unit mixer. Ini jauh lebih baik daripada tidak ada acuan sama sekali. Selain itu, peran operator pun ikut menentukan optimalisasi operasi mixing, termasuk kemampuannya dalam menganalisis perubahan kondisi air baku di lapangan dan menginterpretasikan data hasil jar test-nya di laboratorium kemudian melakukan cek dan atur ulang (resetting) katup dan alat-alat mekanisnya.

Jar Test
Satu hal yang tidak bisa dan tidak boleh dilupakan dalam kaitannya dengan mixing adalah jar test. Inilah miniatur unit mixing, sekaligus unit sedimentasi atau klarifikasi. Terlampir ditampilkan sebuah foto (gambar 1) alat jar test yang berfungsi untuk memprediksi dosis optimum koagulan yang layak diterapkan pada sampel air baku dengan kondisi relatif tetap, baik pH, temperatur, maupun kekeruhannya. Tentu saja hasil jar test ini tidak akan sama dalam semua periode musim lantaran terjadi perubahan kualitas air, baik secara fisika, kimia, maupun biologi. Itu sebabnya, dalam jangka panjang, operator wajib (sebaiknya diwajibkan oleh direksi PDAM) untuk rutin mencatat perubahan kondisi air baku sebelum masuk ke unit mixing sekaligus melaksanakan jar test dan mencatatkan hasilnya di dalam buku dan dibuatkan grafik variasi kualitasnya. Data ini bermanfaat bagi PDAM dalam jangka panjang untuk memperkirakan karakteristik air baku daerah setempat dan juga berguna dalam perancangan IPAM pada masa depan.

Meskipun sudah menjadi pekerjaan harian di PDAM (terutama di PDAM besar yang air bakunya dari sungai), secara ringkas di sini dipaparkan tentang jar test. Prinsipnya, zat kimia yang dapat digunakan sebagai koagulan (dalam jar test dan praktik di lapangan) adalah semua yang kationnya bervalensi dua atau lebih dan kuat sifat elektrolitnya seperti Fe (ferrum, besi) dan Al (aluminum). Yang umum dan sudah dijual luas ialah aluminum dan derivatnya: aluminum sulfat (tawas (Al2(SO4)3.18H2O) dan Polyaluminum Chloride (PAC). Dari jenis besi antara lain fero sulfat (Fe(SO4)) dan feri klorida (FeCl3). Apabila koagulan, misalnya alum dan derivatnya, dimasukkan ke dalam air, maka akan terjadi disosiasi dan hidrolisis, kemudian polimerisasi.

Yang berperan dalam destabilisasi koloid pada reaksi di atas adalah kation Al3+. Di dalam campuran air dan koagulan (mixed liquor), molekul Al(OH)3 yang wujudnya padat atau presipitat dapat berfungsi sebagai inti flok (nucleus), sedangkan ion kompleksnya, Al(H2O)4(OH)2)4+ berfungsi sebagai tali atau rumbai yang menghubungkan partikel satu dengan yang lainnya. Pada tabel 1 diberikan fenomena koagulasi dan tahap-tahapnya sampai tercapai flok yang berat (flokulasi peri dan ortokinetik). Adapun gambar 2 berisi urutan fenomena koagulasi flokulasi dengan polimer yang digambarkan seperti benang (tali) berjumbai (rumbai) yang siap menangkap partikel koloid. Partikel yang labil terus bergabung membentuk flok yang lebih besar dan begitu seterusnya. Tulisan khusus tentang flokulasi (slow mixing) akan diberikan pada edisi selanjutnya. (bersambung ke "Rapid dan Slow Mixing pada Instalasi Pengolahan Air Minum (Part 02)")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar